Jumat, 21 Oktober 2011

Peran Bahasa dan Sastra Dalam Pendidikan Karakter Bangsa

Belakangan ini kita dibuat menangis dengan hampir runtuhnya karakter bangsa Indonesia, karena bahasa serta sastra yang semakin hilang kekentalannya dan sikap hidup pragmatis dari sebagian besar masyarakat Indonesia dewasa ini yang mengakibatkan terkikisnya nilai luhur budaya bangsa. Demikian pula budaya kekerasan dan anarkisme sosial turut memperparah kondisi sosial budaya bangsa Indonesia. Nilai kearifan lokal yang santun, ramah, saling menghormati, arif, dan religius seakan terkikis dan tereduksi gaya hidup instan dan modern. Masyarakat sangat mudah tersulut emosinya, pemarah, brutal, kasar, dan vulgar tanpa mampu mengendalikan hawa nafsunya, seperti perilaku para demonstran yang membakar kendaraan atau rumah, merusak gedung, serta berkata kasar, dalam berunjuk rasa yang ditayangkan di televisi. Fenomena itu dapat menjadi representasi melemahnya karakter bangsa ini, yang terkenal ramah, santun, berpekerti luhur, dan berbudi mulia.

Sebagai bangsa yang beradab dan bermartabat, situasi yang demikian itu jelas tidak menguntungkan bagi masa depan bangsa, khususnya dalam melahirkan generasi masa depan bangsa yang cerdas, bijak, terampil, berbudi pekerti luhur, dan senantiasa berbakti kepada kedua orang tua serta senantiasa selalu bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, dibutuhkan pendidikan yang berorientasi pada karakter bangsa, yang tidak sekadar memburu kepentingan pikir, menghafal, dan logika tetapi juga memperhatikan dan mengintegrasi persoalan moral dan keluhuran budi pekerti. Seperti yang kita tahu fungsi pendidikan sendiri adalah mengembangkan kemampuan dan membangun watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis

Pendidikan sastra dan bahasa Indonesia mempunyai peranan yang penting didalam dunia pendidikan. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi. Oleh karena itu, kita harus mempelajari ilmu pendidikan tentang bahasa dan sastra Indonesia. Agar kita dapat belajar dan mengetahui bagaimana cara kita  menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Terutama bagi calon pendidik, pendidikan bahasa dan sastra Indonesia dirasakan memang sangat penting. Karena ketika seorang pendidik memberikan pengajaran kepada anak-anak didiknya, ia harus bisa menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Apabila seorang pendidik mengunakan bahasa yang kurang baik, maka akan dicontoh oleh anak-anak didiknya dan itu akan mengakibatkan peran bahasa dan sastra dalam dunia pendidikan berkurang

Disini bangsa perlu pendidikan yang berorientasi pada pembentukan karakter bangsa yang  dapat diwujudkan melalui pengoptimalan peran sastra. Untuk membentuk karakter bangsa ini, sastra diperlakukan sebagai salah satu media atau sarana pendidikan kejiwaan. Hal itu cukup beralasan sebab sastra mengandung nilai etika dan moral yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia. Sastra tidak hanya berbicara tentang diri sendiri (psikologis), tetapi juga berkaitan dengan Tuhan (religiusitas), alam semesta (romantik), dan juga masyarakat (sosiologis

Sastra mampu mengungkap banyak hal dari berbagai segi, salah satunya yaitu : Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:623) menjelaskan bahwa karakter merupakan cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang mampu membuat suatu keputusan dan siap mempertanggungjawabkan setiap akibat dari keputusan yang dibuatnya. Berkaitan dengan karakter, Saryono (2009:52—186) mengemukakan bahwa genre sastra yang dapat dijadikan sarana untuk membentuk karakter bangsa, antara lain, genre sastra yang mengandung nilai atau aspek (1) literer-estetis, (2) humanistis, (3) etis dan moral, dan (4) religius- sufistis-profetis. Keempat nilai sastra tersebut dipandang mampu mengoptimalkan peran sastra dalam pembentukan karakter bangsa.

Penggunaan bahasa mengenal berbagai variasi. Bahasa yang digunakan oleh seseorang akan berbeda dengan bahasa yang digunakan oleh orang lain. Kevariasian bahasa itu dipengaruhi oleh siapa yang berbicara, lawan bicara, situasi, topik pembicaraan, dan sebagainya

Perbedaan struktural berbentuk ucapan, intonasi, morfologi, identitas kata-kata, dan sintaksis. Berkaitan dengan pendapat di atas, dalam penelitian ini akan memfokuskan pada pemakaian bahasa, yang dilihat dari segi fonologi (pelafalan/pengucapan), morfologi (bentuk kata), leksis (pilihan kata), kosakata dan sintaksis (kalimat

Pelafalan (pengucapan) masyarakat Indonesia terdiri dari beratus-ratus suku, dan masing-masing suku memiliki bahasa daerah. Bahasa daerah tersebut dipergunakan oleh bangsa (masyarakat) Indonesia sebagai sarana komunikasi antar suku, dan juga dipergunakan di lingkunagn keluarga. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau bahasa daerah tersebut sudah menyatu dengan kehidupan masyarakat di Indonesia. Keadaan seperti ini akan berpengaruh terhadap pemakaian bahasa Indonesia. Pengaruh tersebut beragam, yaitu :
  • Ada pengaruh lafal,
  • Ada pengaruh bentuk kata,
  • Ada pengaruh makna kata, dan
  • Ada juga pengaruh struktur kalimat.

Lagi pula agaknya pengaruh-pengaruh tersebut sulit untuk dihindari dengan sepenuhnya. Seperti dikatakan oleh Badudu (1985: 12) bahwa tidak seorang pun yang dapat melepaskan diri dari pengaruh itu seratus persen. Lebih lanjut dikatakannya, yang mungkin adalah bahwa pengaruh ini sangat sedikit, sehingga sukar kita menerka dari suku manakah orang yang bertutur itu berasal.

Bila seseorang dalam berbahasa Indonesia (lisan) terdengar bahasa daerahnya, maka lafalnya tergolong lafal nonbaku. Akan tetapi, bila seseorang dalam berbahasa Indonesia tidak terdengar lafal bahasa daerahnya, maka lafalnya dapat digolongkan kepada bahasa baku (standar).

Kebahasaan seseorang di dalam masyarakat pada dasarnya dapat dilihat dari kemampuannya menggunakan dua bahasa atau lebih. Sebelum seseorang menguasai dua bahasa atau lebih, yang pertama kali mempengaruhi mendasari bahasa seseorang umumnya adalah bahasa ibu. Bahasa ibu, yang merupakan bahasa pertama biasanya diperoleh dalam lingkungan keluarga atau masyarakat. Kecenderungan pemakaian bahasa ibu atau bahasa pertama sangat tergantung pada bahasa yang paling dominan dipergunakan di tengah-tengah masyarakat.

Terutama di daerah-daerah pedesaan, biasanya yang dominan adalah bahasa ibu daerah. Dalam rentang waktu selanjutnya, sesuai dengan usianya kemudian seseorang akan mempelajari bahasa kedua. Bagi anak-anak, hal ini akan dialami apabila anak-anak mulai masuk sekolah. Dari perjalanan waktu dan usia sekolah itulah, maka akan diperoleh dan dikuasai bahasa kedua, sehingga mereka dapat menguasai lebih dari satu bahasa.

Jadi untuk menjadikan sastra sebagai pembentukan karakter bangsa, tidak serta-merta hal itu dapat terwujud. Untuk mengoptimalkan peran sastra tersebut, kemauan apresiator sangat menentukan keberhasilan. Apabila apresiator tidak memiliki kemauan, segan membaca dan mengapresiasi karya sastra, bahkan sekadar membaca dan setelah itu dilupakan, tentu sulit diharapkan sastra mampu secara optimal berperan membentuk karakter bangsa. Sebaliknya, apabila ada kemauan yang teguh dari seorang apresiator untuk berapresiasi secara total dan optimal, setelah sastra dibaca, lalu dipahami maknanya, dimengerti, dan selanjutnya dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, tentu karakter bangsa akan terbentuk sesuai dengan nilai kebajikan yang termuat dalam sastra. Karakter bangsa yang diharapkan terbentuk adalah terjalinnya harmoni hubungan manusia dengan Tuhannya, alam semesta, orang lain, dan dirinya sendiri.

Read More » »
Copyright © 2011 Bahasa dan Satra Indonesia. All Rights Reserved.